Hadé Tagog Hadé Gogog dan Seni Diplomasi

Oleh: Robby Maulana Zulkarnaen

Pidato Presiden Prabowo Subianto di Sidang Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa, Selasa 24 September 2025 di New York, bukan sekadar deretan kata diplomatis. Ia hadir sebagai gema suara bangsa, menembus sekat-sekat dunia dengan sikap hadé tagog, hadé gogog – tegak gagah, lantang penuh keberanian.

Di hadapan para pemimpin negara, ia memilih jalan lurus, berkata benar meski pahit. “Qulil haqo walau kana muron,” demikian sikap yang ia wujudkan — berani berbeda demi menjunjung prinsip, écés jéntré, teu didingding kelir, teu dibuni-buni. Pesan yang mengingatkan kita bahwa diplomasi tidak selalu tentang basa-basi, tetapi tentang keberanian untuk menegakkan nurani.

Dengan lantang ia menegaskan, “Kita berbeda ras, agama, dan kebangsaan, namun kita berkumpul bersama sebagai satu keluarga manusia, masing-masing diciptakan setara, dianugerahi hak yang tidak dapat dicabut untuk hidup, kebebasan, dan mengejar kebahagiaan.” Dan dengan nada tegas, ia menutup, “Mengakhiri perang harus menjadi prioritas utama kita. Kita harus mencapai perdamaian yang dibutuhkan umat manusia.”

Sorak kagum dunia menjadi kebanggaan tersendiri. Namun kebanggaan itu bukan hadiah yang bisa kita simpan begitu saja. Ia adalah amanah besar yang mesti hidup di dada bangsa sendiri. Sebab wibawa pemimpin bukan hanya terletak pada pidato di forum internasional, melainkan juga pada bagaimana bangsa dan rakyatnya menjelmakan pesan itu dalam kenyataan sehari-hari.

Di titik inilah tanggung jawab utama sesungguhnya berada di pundak para pemangku kebijakan. Mereka adalah garda terdepan yang menentukan arah bangsa. Dengan kewenangan dan keputusan yang mereka miliki, para pemangku kebijakan wajib membumikan nilai perdamaian dan keadilan ke dalam praktik pemerintahan yang nyata. Mereka pula yang harus menjaga nalar kebangsaan agar setiap kebijakan lahir dari ilmu, kearifan, dan visi panjang, bukan sekadar kepentingan sesaat.

Rakyat pada akhirnya hanyalah pantulan dari kebijakan yang lahir di ruang-ruang pengambil keputusan. Bila pemangku kebijakan menjaga marwah bangsa, maka rakyat akan merasakan manfaatnya; pendidikan yang layak, kesehatan yang terjamin, rasa aman yang merata. Namun bila kebijakan kehilangan arah, rakyatlah yang paling dulu menanggung akibatnya.

Indonesia dipanggil untuk menjadi role model. Tentang perdamaian, tentang kemanusiaan, tentang keadilan yang tidak berpihak pada kekuatan semata. Semua itu sudah tertuang dalam Pancasila dan Pembukaan UUD 1945, bahwa kemerdekaan adalah hak segala bangsa. Karena itu, kita tidak boleh menodai pesan luhur yang dibawa ke panggung dunia, melainkan memperkuatnya dalam laku kebangsaan.

Kemerdekaan sejati adalah ketika rakyat merasakan kesejahteraan lahir batin, ketika pendidikan, kesehatan, dan rasa aman hadir di setiap rumah. Begitu pula perdamaian sejati adalah harmoni yang tumbuh di tengah masyarakat, ketenteraman politik, dan rasa percaya antarwarga. Itulah diplomasi dalam wajahnya yang paling utuh, tidak berhenti di podium internasional, tetapi mengakar dalam kehidupan bangsa sendiri.

Maka, marilah kita rawat kebanggaan ini. Mari kita jaga marwah bangsa dengan menghidupkan kembali warisan luhur pendiri negeri: menegakkan perdamaian, menjaga martabat, dan memperjuangkan keadilan. Sudah saatnya Indonesia tidak hanya menjadi penonton di panggung sejarah dunia, tetapi pelaku utama yang menebarkan cahaya kemanusiaan.

Dan pada akhirnya, Nagri walagri tunjung sampurna menjadi bukti bukan sekadar ungkapan, melainkan bukti nyata yang kita persembahkan bersama, demi tegaknya marwah bangsa.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You cannot copy content of this page