Oleh: Robby Maulana Zulkarnaen
Lagu Sabilulungan karya Maestro Karawitan Sunda Koko Koswara atau yang akrab disapa Mang Koko, lahir pada tahun 1940-an. Di balik nadanya yang lembut dan syahdu, tersimpan pesan universal tentang semangat gotong royong, saling menolong, dan menjaga persatuan.
Sabilulungan bukan sekadar lagu, melainkan falsafah hidup orang Sunda yang menegaskan bahwa kekuatan bangsa lahir dari kebersamaan dan keselarasan rakyatnya. Dalam semangat itulah perbedaan tidak lagi menjadi batas, tetapi menjadi jembatan menuju kehidupan yang rukun, sejahtera, dan berwibawa.
Dengan semangat yang sama, saya bersyukur dapat hadir dan menjadi bagian dari Deklarasi Forum Keberagaman Nusantara (FKN) pada 27 Oktober 2025, yang diselenggarakan di kediaman Sultan Ternate Hidayatullah Mudaffar Sjah, Sultan ke-49 Kesultanan Ternate.
Momen itu terasa istimewa bukan hanya karena kehadiran tokoh nasional dan para pegiat kebudayaan, tetapi juga karena para Sultan dari berbagai wilayah Nusantara turut hadir , masing-masing sebagai stakeholder kebudayaan dan moral bangsa di daerahnya.
Kehadiran mereka menjadi simbol bahwa keberagaman tidak cukup dibicarakan, tetapi harus dihayati dan dijaga bersama.
Indonesia memang selalu dibanggakan sebagai negeri dengan mozaik budaya yang menakjubkan. Ratusan suku, bahasa, dan tradisi tumbuh di bawah satu panji kebangsaan. Namun di balik keindahan itu, ada kegelisahan yang patut direnungkan.
Apakah kita benar-benar memahami keberagaman yang kita rayakan? Atau jangan-jangan kita mulai terlena, merasa aman, padahal sesungguhnya ia rapuh dan bisa retak kapan saja?
Kegelisahan semacam inilah yang tampaknya dirasakan oleh Ketua Forum Keberagaman Nusantara, H. Arif Rahmansyah Marbun, seorang tokoh muda dengan pandangan jauh ke depan. Dalam pikirannya tersimpan kegundahan bahwa keberagaman tanpa kesadaran dan pengelolaan dapat berubah menjadi potensi perpecahan.
Beliau menyadari bahwa keharmonisan sosial tidak cukup diwariskan, tetapi harus terus dirawat menjadi kesadaran kolektif setiap generasi, disertai dengan tindakan nyata.
Kekhawatiran ini bukan tanpa dasar. Di tengah derasnya arus politik identitas, media sosial yang penuh dengan ujaran kebencian, dan ketimpangan sosial yang kian melebar, toleransi di akar rumput kini menghadapi ujian berat.
Gesekan kecil sering diperbesar oleh informasi yang salah, diperkeruh oleh kepentingan sempit, dan diperparah oleh hilangnya kebesaran hati.
Masyarakat yang semula hidup damai kini mudah tersulut oleh provokasi yang menunggangi perbedaan.
Dalam sambutannya di deklarasi, Wakil Presiden ke-13 Republik Indonesia, Prof. Dr. KH. Ma’ruf Amin, selaku Ketua Pembina FKN, menyampaikan pesan yang begitu lugas sekaligus mendalam:
“Mewujudkan keberagaman itu tidak mudah dan tidak murah.”
Saya menangkap pernyataan itu bukan sekadar sebagai peringatan, tetapi pengakuan jujur atas realitas sosial yang tengah kita hadapi. Menjaga keberagaman menuntut biaya sosial, kewaspadaan dini, pengorbanan ego, dan kebesaran hati untuk menahan diri dari sikap menang sendiri.
Sebab seperti kata pepatah, “setiap kebaikan memiliki musuhnya, dan setiap kejahatan memiliki kawannya.”
Kita tidak boleh lengah. Sejarah dunia menyimpan banyak pelajaran pahit. Salah satunya adalah kisah Aleppo, kota peradaban dan budaya yang pernah dijuluki “Mutiara Timur Tengah.”
Dahulu, Aleppo hidup damai dalam keragaman etnis, bahasa, dan keyakinan. Namun semuanya porak-poranda ketika arogansi kekuasaan bersinggungan dengan kemarahan ormas-ormas setempat.
Dalam waktu singkat, kota yang penuh ilmu dan seni itu menjadi lautan puing dan tangis.
Aleppo mengingatkan kita bahwa peradaban setinggi apa pun bisa hancur bila kebijaksanaan dan keadaban sosial ditinggalkan.
Dari kesadaran itulah Forum Keberagaman Nusantara hadir.
Bukan sebagai panggung seremonial, melainkan sebagai ruang refleksi, edukasi, dan dialog kebangsaan.
FKN berupaya menjadi jembatan hati, tempat tokoh adat, pemuka agama, akademisi, pemuda, dan masyarakat sipil bertemu dalam semangat saling menghormati. Forum ini diharapkan mampu memulihkan rasa percaya dan kepedulian sosial di tengah masyarakat yang kian terfragmentasi oleh perbedaan pandangan.
Ketika sebagian orang sibuk membela kelompoknya sendiri, FKN mengingatkan bahwa keberagaman adalah tanggung jawab bersama.
Kita tidak boleh membiarkan keberagaman hanya menjadi jargon dalam pidato kebangsaan. Ia harus hadir dalam laku kehidupan sehari-hari, dalam empati sosial, dan dalam kesediaan menengok penderitaan sesama.
Sikap semacam inilah yang tampak dalam pribadi Sultan Ternate Hidayatullah Mudaffar Sjah. Dalam kelembutan dan keramahannya, ia menunjukkan teladan tentang bagaimana memelihara martabat tanpa harus menunjukkan keagungan diri.
Keramahannya bukan sekadar tradisi budaya, melainkan bentuk kebijaksanaan yang mengajarkan bahwa kekuatan seorang pemimpin justru lahir dari kemampuannya untuk merangkul, bukan menaklukkan.
Kini, FKN hadir di tengah tantangan zaman yang menuntut kebijaksanaan baru.
Bagaimana menjaga kebhinekaan di era digital yang mudah memecah belah opini? Bagaimana melawan intoleransi tanpa menebar kebencian baru? Dan bagaimana menanamkan kesadaran bahwa keberagaman bukan sekadar fakta sosial, tetapi amanah spiritual yang wajib dijaga dengan cinta, kesabaran, dan tanggung jawab?
Bangsa ini tidak akan runtuh karena banyaknya perbedaan, tetapi karena hilangnya kebesaran hati untuk hidup di dalam perbedaan itu sendiri.
Maka, Sabilulungan bukan sekadar nyanyian lama, melainkan cermin semangat yang sejiwa dengan Forum Keberagaman Nusantara.
Keduanya menegaskan pentingnya kebersamaan yang terorganisir, gotong royong yang berjiwa kebangsaan, serta solidaritas sosial yang menembus sekat suku dan agama.
Karena seperti pesan bijak Sayyidina Ali r.a.,
“Sebuah kelompok besar yang mengusung kebaikan tanpa terorganisir, akan dikalahkan oleh kelompok kecil yang mengusung kejahatan namun terorganisir.”
FKN adalah bentuk pengorganisasian kebaikan itu, ikhtiar bersama untuk menjaga hati di tengah perbedaan, menyalakan kembali kesadaran kebangsaan, dan memastikan bahwa keberagaman tetap menjadi kekuatan yang mempersatukan, bukan yang memisahkan.
Keberagaman sebagai Doa yang Hidup
Keberagaman adalah doa yang hidup, ia berdenyut dalam napas bangsa ini setiap kali kita saling menyapa dengan hormat, setiap kali kita memilih untuk memahami daripada menghakimi.
Ia bukan sekadar warna dalam kain kebangsaan, tetapi nyala cahaya yang memberi arah di tengah gelapnya zaman.
Menjaga keberagaman berarti menjaga nurani, menjaga martabat kemanusiaan, dan menjaga amanah Tuhan yang menitipkan bumi Nusantara ini kepada mereka yang mampu hidup dalam kasih dan kebijaksanaan.
Selama nurani peduli masih menyala, selama tangan-tangan yang tulus masih saling menggenggam, selama semangat Sabilulungan masih bergetar di dada anak bangsa, Indonesia akan tetap berdiri, bukan karena sama, tetapi karena bersedia hidup dalam perbedaan dengan cinta.***





