Oleh : Bonti Wiradinata
Dosen dan Analis Kebijakan Publik pada Departemen Administrasi Publik FISIP UNPAD
I. Awal Gagasan dan Tujuan Mulia MBG
Kebijakan Makan Bergizi Gratis (MBG) dirancang sebagai program unggulan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Ambisi tinggi disematkan pada Program ini dengan tujuan: menyediakan makanan bergizi tanpa biaya kepada anak-anak sekolah, balita, ibu hamil/menyusui, serta kelompok rentan. Pemerintah menargetkan cakupan sekitar 82,9 Juta penerima manfaat di Indonesia (Badan Gizi Nasional, 2025).
Secara resmi, MBG berada di bawah koordinasi Badan Gizi Nasional (BGN) yang bertujuan memperkuat ketahanan gizi nasional sebagai fondasi ketahanan kesehatan dan sumber daya manusia unggul (Badan Gizi Nasional, 2025). Dalam pelaporan resmi pada 14 Juli 2025, Kepala BGN menyatakan bahwa MBG telah menjangkau 6,2 juta penerima manfaat, sekitar 7% dari target nasional (Badan Gizi Nasional, 2025).
Pencapaian awal ini juga disertai dengan pernyataan bahwa telah didirikan ribuan unit SPPG (Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi) dan menyerap tenaga kerja (Towa, 2025). Dalam pidato kenegaraan Agustus 2025, Presiden Prabowo menyebut bahwa MBG telah menciptakan 290.000 lapangan kerja di sektor dapur dan rantai pasok lokal, melibatkan 1 juta petani dan UMKM, serta mendorong pertumbuhan ekonomi desa (Wulandari, 2025). Namun hingga tulisan ini di selesai di susun, pemerintah terlihat belum menampilkan data dampak kebijakan ini bagi UMKM di sekitar sekolah yang menggantungkan diri pada ekosistem yang disasar oleh Program MBG.
Sejarah membuktikan, investasi gizi bukanlah pengeluaran yang sia-sia, melainkan prasyarat pembangunan. Mari kita melihat pengalaman dari Pemerintah India yang meluncurkan program makan siang gratis pada tahun 1995. Program ini ditujukan untuk meningkatkan kehadiran sekolah, serta bertujuan mengurangi kelaparan. program ini mencakup 125 juta anak di sekolah negeri serta sekolah bantuan pemerintah (INDEF, 2024).
Program ini memakan biaya sekitar US$ 2,8 miliar, Studi WFP PBB menunjukkan bahwa dari setiap US$ 1 yang digunakan untuk program Makan Siang di Sekolah, dapat mendongkrak dampak ekonomi sebesar US$ 9. Anggaran US$ 1 ini digunakan untuk pengadaan bahan baku makanan, jalur logistik dan penyimpanan, serta penguatan komoditas makanan (INDEF, 2024).
Indonesia kini sedang melangkah di jalan yang sama. Dengan MBG, negara ingin memastikan anak-anak bebas stunting, anemia, dan kelaparan tersembunyi. Tanpa itu, seluruh investasi pendidikan, infrastruktur, bahkan bonus demografi, bisa berujung sia-sia. Pendidikan gratis, sekolah kokoh dengan lab mutakhir dan infrastruktur mutakhir akan tidak bernilai apapun di tangan SDM dengan IQ rendah sebagai akibat stunting, anemia dan kelaparan.
Mempertentangkan pendidikan gratis dengan penguatan SDM melalui MBG dengan alasan keterbatasan APBN, adalah Black or White logical fallacy. Ini bukan pilihan biner. Melainkan kedua-duanya harus ditempuh dan diwujudkan. Wajib, “like man and the gun”.
Jika dilihat dari aspek kebijakan publik dan strategic governance, MBG adalah intervensi lintas sektor, yakni : kesehatan, pendidikan, sosial dan ekonomi. Dari perspektif intelijen strategis, implementasi program dalam skala besar (yang menyentuh jutaan orang), beresiko tinggi terhadap kegagalan operasional, penyalahgunaan, dan kerugian reputasi pemerintahan dan negara. Maka evaluasi kritis dan fundamental menjadi sangat esensial.
II. Bayangan Kasus Keracunan MBG : Permasalahan yang Menelanjangi Sistem
Meskipun tujuan MBG sangat mulia, penyelenggaraan MBG kini sudah tercoreng oleh deretan insiden keracunan massal yang memicu kegelisahan publik. Berikut beberapa data dan fakta penting :
1. Jumlah insiden nasional : Menurut catatan Tempo, per-september 2025 terdapat sekitar 6.452 kasus keracunan menu MBG yang dilaporkan di berbagai daerah (TEMPO, 2025). Laporan BGN per-25 September menyebutkan 5.914 orang korban keracunan MBG (CNN Indonesia, 2025).
2. Kasus besar di Kab. Bandung Barat : Insiden menonjol terjadi di Kab. Bandung Barat (Cipongkor dan Cihampelas) (CITRAPEDIA, 2025), di mana sebanyak 1.333 siswa dilaporkan keracunan seusai menyantap menu MBG (Pradana, 2025). Berdasarkan publikasi Tempo, Jumlah korban di Kab. Bandung Barat mencapai 1.308 orang, dan kondisinya sebagian masih dirawat (TEMPO, 2025).
3. Daerah lain dan keragaman kasus :
Di Sumedang 164 siswa dilaporkan keracunan.
Di Ketapang, Kalimantan Barat : menu “ikan Hiu” yang dijadikan dalam menu MBG memicu keracunan, dimana 25 orang terindikasi mengalami gejala keracunan.
Kasus berulang telah terjadi di berbagai daerah lain, seperti : Garut, Banggai, Bau-Bau, serta wilayah-wilayah lainnya (Grehenson, 2025).
Guru Besar UGM, Prof. Sri Raharjo, menyoroti bahwa akar permasalahan utama adalah lemahnya regulasi dan pengawasan, serta target ambisius yang terburu-buru tanpa kesiapan pengawasan infrastruktur dapur dan SPPG (Grehenson, 2025).
4. Penyebab yang disebutkan dalam laporan :
a. BGN menyatakan bahwa sekitar 80% kasus keracunan disebabkan karena SOP tidak dipenuhi dalam proses persiapan makanan (Dirgantara & Prabowo, 2025).
b. Dalam publikasi CNN, BGN menyebut bahwa keracunan di berbagai wilayah terbagi menurut zona :
I. Wilayah I (Sumatera) : 1.307 orang
II. Wilayah II (Jawa) : 3.610 orang (CNN Indonesia, 2025)
Dari perspektif kebijakan publik dan governance, insiden-insiden ini menandai resiko sitemik berupa :
1. Kegagalan tata kelola (governance) : lemahnya pengawasan pusat-daerah, kapasitas lembaga baru (BGN) yang belum cukup kuat, serta ketidakpastian peaksanaan dan kepatuhan terhadap SOP di setiap level.
2. Resiko reputasi dan kepercayaan publik : insiden keracunan merusak kredibilitas MBG, bahkan merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah sebagai penyedia layanan publik.
3. Ancaman intelijen strategis : keracunan yang meluas bisa disulap dan ditunggangi menjadi isu keamanan pangan nasional, pemicu kegaduhan sosial, serta sasaran kritik politik.
Tanpa penangan yang sigap dan komprehensif, program MBG bisa berpotensi menjadi beban yang lebih besar dan memberatkan, daripada manfaat yang diberikan.
III. Analisis Kritis : Kelemahan Desain dan Implementasi Program MBG
Dari tiga perspektif yang penulis gunakan, yakni : kebijakan publik, governance dan intelijen strategis, terlihat beberapa kelemahan desain dan implementasi program MBG. Hal tersebut adalah :
1. Ambisi terlalu besar dengan kesiapan terbatas : Prof. Sri Raharjo menyebut bahwa MBG sebagai “too much too soon”. Bahwa target mendirikan puluhan ribu SPPG dalam waktu cepat terbukti telah melampaui kapasitas pengawasan dan manajemen. Dalam pandangan analisis kebijakan publik, ekspansi yang terlalu cepat sangat beresiko mengorbankan kualitas dan konsolidasi sistem. Penulis menerka-nerka, “apakah ini ada hubungannya dengan tuntutan pembuktian dan tekanan dari publik terkait kinerja Kabinet Presiden Prabowo, bahwa MBG dapat dieksekusi dalam 100 hari pada awal masa kerja kepemimpinan?”.
2. Lemahnya regulasi dan payung hukum operasional : Sejauh ini, payung hukum utama adalah Perpres No. 83 Tahun 2024 tentang pendirian BGN. Namun hingga tulisan ini selesai penulis belum menemukan regulasi teknis operasional yang kuat (misalnya SNI dapur, kewajiban audit keamanan pangan, serta sanksi tegas bagi penyedia bermasalah). Ketertutupan dan eksklusifitas BGN dan SPPG terhadap stakeholder yang memantau, menjadi titik paling lemah dan paling rawan yang mengancam persepsi publik terkait good governance dan inklusifitas kebijakan publik terhadap program MBG.
3. Ketergantungan kepada eksekutor lokal yang kapasitasnya heterogen : Banyak dapur/pihak penyedia makanan yang belum punya pengalaman skala besar, belum memiliki pelatihan higienitas yang cukup, kurangnya ahli gizi yang memadai, serta gagapnya monitoring pusat terhadap SPPG.
4. SOP dan standar keselamatan pangan yang belum ditaati : BGN menyebut 80% kasus keracunan karena SOP tidak terpenuhi. Ini berarti standar teknis telah ditetapkan, tetapi implementasi bermasalah.
5. Proses pengawasan dan audit yang belum memadai : Pengawasan internal dan eksternal belum sistematis, inspeksi masih bersifat acak dan laboratorium pangan belum merata ke seluruh daerah. Bahkan Kab. Bandung Barat yang hanya berkisar 2 jam perjalan dari Jakarta, justru mengalami kasus keracunan yang parah.
6. Kekurangan kapabilitas intelijen pangan dan respon cepat : Early warning system terhadap insiden keamanan pangan belum matang, dan respon investigasi lamban dibanyak lokasi. Bila early warning system telah diperbaiki dengan sigap, tentu tidak akan terjadi lagi kasus keracunan di tempat serupa.
IV. Solusi Konkret : Strategi Perbaikan dan Penguatan
Untuk memastikan MBG bukan menjadi “bom reputasi” yang akan menghancurkan “wajah” Presiden Prabowo Subianto dan Bangsa Indonesia, berikut strategi dan rekomendasi solusi konkret menurut ketiga perspektif, yaitu :
1. Penajaman Tahap Implementasi (Phased Roll-out) :
a. Fokus pilot di wilayah prioritas : mulai dari provinsi dengan infrastruktur pengawasan lebih kuat (misalnya provinsi yang sudah maju) sebelum memperluas ke daerah terpencil.
b. Skala bertahap : misalnya 20-30% cakupan di tahun pertama, baru ekspansi jika kualitas dan standarisasi telah terjaga dan terbangun dengan stabil.
2. Standar Nasional Keamanan Pangan dan Regulasi Teknis :
Bentuk regulasi operasional (PP/Peraturan Menteri) yang mewajibkan sertifikasi dapur, SOP HACCP sederhana, serta audit independen dari stakeholders.
Setiap SPPG wajib melaporkan rutin hasil uji mikrobiologi pada sampel makanan. Hal ini memang sangat menantang untuk direalisasikan, tapi ini penting dan vital untuk menjaga kepercayaan publik.
3. Penguatan Kapasitas SPPG dan Pengawasan Daerah :
Pelatihan reguler dan sertifikasi petugas dapur lokal (supervisor gizi dan juru masak)
Penugasan auditor pangan dari Dinas Kesehatan, Puskesmas, BPOM, serta Perguruan tinggi setempat. Kekurangan Ahli Gizi mungkin dapat diatasi dengan collaborative governance pada kekuatan yang dimiliki oleh perguruan tinggi. Tridharma perguruan tinggi dalam skema pengabdian kepada masyarakat akan sangat membantu dalam elemen ini.
c. Sistem reward and punishment berupa : Skema insentif bagi SPPG yang bebas insiden, serta pemberian penalti bagi penyedia bermasalah.
4. Sistem Monitoring Real-Time dan Transparansi Publik :
a. Platform digital nasional untuk pemantauan : laporan insiden, parameter keamanan, kunjungan audit, angka pengguna dan lain-lain.
b. Publikasi data capaian secara berkala (misalnya versi harian/mingguan) agar masyarakat, media serta stakeholders dapat memantau.
c. Kanal pengaduan cepat (hotline, SP4N LAPOR) terintegrasi dengan sistem audit pusat.
5. Sistem Intelijen Pangan dan Early Warning :
a. Integrasi sistem intelijen pangan (data keluhan, hasil laboratorium, pola geografis) untuk mendeteksi anomali.
b. Tim respons cepat nasional yang dapat dikirim ke lokasi insiden untuk investigasi, sampling dan verifikasi.
c. Kolaborasi dengan lembaga penegak hukum bila ditemukan indikasi kelalaian atau sabotase.
6. Evaluasi Independen Berkala dan Reformasi Tata Kelola :
a. Guna memastikan objektivitas, lakukan evaluasi eksternal oleh lembaga independen (perguruan tinggi dan lembaga audit publik).
b. Hasil evaluasi dijadikan bahan revisi regulasi dan kebijakan.
c. Sistem reward and punishment untuk pejabat daerah/penyedia berdasarkan capaian keamanan pangan dan kualitas layanan.
d. Inclusive public policy and governance adalah kunci reformasi tata kelola dan keberhasilan program dalam skala masif atas keterbatasan sumber daya pemerintah. Inklusifitas dapat mendorong terwujudnya good governance, public trust, dan rasa kepemilikan rakyat terhadap keberhasilan program MBG. Keuntungan inklusifitas adalah bahwa gagal-berhasilnya MBG merupakan capaian bersama. Eksklusifitas hanya akan mendorong bad governance, Spoil system, red tape, corruption, public distrust dan pada akhirnya akan menimbulkan hantaman keras publik terhadap rezim walaupun kesalahan yang terjadi bersifat minor. Karena ini menyangkut nyawa seorang anak manusia. Bukankan Pancasila sila ke-3 mengajarkan kita untuk bersatu ?.
7. Komunikasi Publik Humanis dan Penguatan Kepercayaan Publik :
a. Keterbukaan informasi saat insiden: segera informasikan fakta, langkah tanggap, dan rencana perbaikan yang konkrit, logis dan rasional. Jangan retoris, apalagi menjanjikan hal yang tidak mungkin dipenuhi.
b. Libatkan orangtua murid, komunitas, organisasi masyarakat dan stakeholders lain sebagai bagian dari pengawasan lokal (community oversight).
c. Edukasi gizi dan keamanan pangan di sekolah agar siswa/pengawas internal mengetahui standar minimal.
V. Penutup dan Harapan Strategis
Kebijakan MBG memuat nilai luhur: menjamin hak atas gizi bagi generasi Indonesia. Namun niat baik saja tidak cukup. Ketika kegagalan implementasi menghasilkan korban keracunan, maka legitimasi program bisa runtuh. Prof. Budiman Rusli (Guru Besar Kebijakan Publik UNPAD) dalam setiap perkuliahannya selalu mengingatkan kepada para mahasiswanya, “sebaik apapun kebijakan publik di formulasikan, hanya akan menjadi macan kertas yang tidak bernilai apabila tidak di implementasikan dengan baik”.
Sebagai analis kebijakan publik dan governance, penulis menegaskan: MBG harus berjalan berdasarkan prinsip prioritas “Keamanan pangan terlebih dahulu, ekspansi kemudian”. Tidak ada kompromi terhadap keselamatan nyawa manusia. Kelalaian apalagi kesengajaan adalah suatu bentuk pengkhiatanan dan kejahatan serius yang harus ditindak tegas.
Jika pucuk pimpinan negara berani melakukan evaluasi terbuka, memperkuat payung hukum teknis, membangun sistem pengawasan nasional real-time, dan menjadikan insiden keracunan sebagai katalis perbaikan, maka MBG diprediksi bisa segera pulih dari reputasi buruk. MBG dapat kembali menjadi kebijakan transformatif penguatan SDM Indonesia untuk mewujudkan visi Indonesia Emas 2045.
Mari kita kawal terus dengan ketat dan kritis agar MBG menjadi kebijakan transformatif SDM yang akan menjadi tonggak kebangkitan SDM unggul Indonesia. Bukan sekedar kebijakan dan program yang idealis namun minus dalam implementasi, atau bahkan hanya sekedar proyek politik yang membahayakan generasi penerus bangsa.
REFERENSI :
BadanGiziNasional. (2025, Juli 14). Kepala BGN : Capaian MBG Saat Ini Layani 6,2 Juta Penerima Manfaat Setara Populasi Singapura. Retrieved from Badan Gizi Nasional: https://www.bgn.go.id/news/siaran-pers/kepala-bgn-capaian-mbg-saat-ini-layani-62-juta-penerima-manfaat-setara-populasi-singapura
Badan Gizi Nasional. (2025). Sekilas Info Seputar Program BGN. Retrieved from Badan Gizi Nasional: https://www.bgn.go.id/
CITRAPEDIA. (2025, September 24). Keracunan MBG Terulang, Puluhan Siswa SMP dan SMK di Cigombar Dilarikan Ke Puskesmas. Retrieved from CITRAPEDIA: https://citrapedia.id/keracunan-mbg-terulang-puluhan-siswa-smp-dan-smk-di-cigombar-dilarikan-ke-puskesmas/
CNN Indonesia. (2025, September 26). Data BGN Per 25 September: 5.914 Orang Keracunan MBG. Retrieved from CNN Indonesia: https://www.cnnindonesia.com/nasional/20250926161447-20-1728119/data-bgn-per-25-september-5914-orang-keracunan-mbg
Dirgantara, A., & Prabowo, D. (2025, September 26). Kasus Keracunan MBG, BGN: 80 Persen Kapan SOP Tak Dipenuhi. Retrieved from Kompas.com: https://nasional.kompas.com/read/2025/09/26/18094401/kasus-keracunan-mbg-bgn-80-persen-karena-sop-tak-dipenuhi
Grehrenson, G. (2025, September 26). Keracunan MBG Kembali Terulang, Guru Besar UGM Soroti Lemahnya Distribusi dan Pengawasan. Retrieved from Universitas Gadjah Mada: https://ugm.ac.id/id/berita/keracunan-mbg-kembali-terulang-guru-besar-ugm-soroti-lemahnya-distribusi-dan-pengawasan/
INDEF. (2024). Efek Pengganda Program Makan Bergizi Gratis. Institute for Development of Economics and Finance. Retrieved from INDEF: https://indef.or.id/page/2024/10/Final-Report-INDEF-Efek-Pengganda-Program-MBG.pdf
Pradana, W. (2025, September 25). Terus Bertambah, Kini 1.333 Siswa di Bandung Barat Keracunan MBG. Retrieved from detiknews: https://news.detik.com/berita/d-8130392/terus-bertambah-kini-1-333-siswa-di-bandung-barat-keracunan-mbg
TEMPO. (2025, September 26). Daftar Kasus Keracunan MBG di Berbagai Daerah Sejak Januari-September 2025. Retrieved from TEMPO: https://www.tempo.co/nasional/daftar-kasus-keracunan-mbg-di-berbagai-daerah-sejak-januari-september-2025
TEMPO. (2025, September 27). Korban Keracunan MBG Capai 1380 Siswa, Pemkab Bandung Barat Tunggu Hasil Lab. Retrieved from TEMPO: https://www.tempo.co/nasional/korban-keracunan-mbg-capai-1380-siswa-pemkab-bandung-barat-tunggu-hasil-lab
Towa, T. (2025, Juni 10). Program Makan Bergizi Gratis Mampu Serap Tenaga Kerja Miliar Ribu Tenaga Kerja. Retrieved from Towa Times: https://towatimes.co.id/2025/06/10/program-makan-bergizi-gratis-mampu-serap-ribuan-tenaga-kerja
Wicaksono, T. (2025, Agustus 15). Program MBG Ciptakan 290.000 Lapangan Kerja Baru. Retrieved from Tribun News: https://www.tribunnews.com/nasional/2025/08/15/program-mbg-ciptakan-290000-lapangan-kerja-baru